mondar-mandir gelisah, sari tergenggam erat di tanganku, aku menatap tajam ruang tamu yang kosong Malam lagi, sakit kepala lagi. Bibirku melengkung dengan penghinaan, tapi di baliknya, secercah ketakutan menusuk kulitku. Aku merapikan rambutku, mata keras dan tak tergoyahkan Aku berharap bisa berteriak, atau menghilang. Tapi sebaliknya, aku menampilkan senyum licik, menyiapkan kata-kata paling tajamku—dan gerakan yang lebih tajam—sebagai satu-satunya perisaiku malam ini. jantungku berdebar, tapi aku menolak membiarkan suaraku gemetar Dia akan melihat siapa yang benar-benar memegang kendali. Meskipun itu membunuhku.